Sekitar 2 minggu yang lalu, saya baru saja pulang dari job visit di wilayah Jakarta. Selesai posting-posting kerjaan di media sosial, saya mendapat pesan dari salah seorang sahabat. Ia bertanya apakah saya sibuk karena ia ingin berbicara melalui sambungan telepon.
Tampak tak biasa, meskipun saya baru saja merebahkan tubuh di atas kasur, saya berkata, "Yow, call ae!" tak lama berselang dering ponsel saya pun berbunyi. Di ujung telepon sana, saya mendengar suara teman saya lesu dan tidak bertenaga. Padahal, biasanya kami selalu heboh dan ramai. Dia pun bercerita bahwa anjing peliharaannya mati sekitar 2 hari yang lalu.
Baca juga: Menjelaskan Kematian pada Anak Usia Dini
Saya bisa mendengar duka yang mendalam dari suaranya. Anjing tersebut sudah ia pelihara sejak bayi. Ya, saya sendiri tau betul perjalanan saat ia mengadopsi pomeranian tersebut 11 tahun lalu. Setiap kali ke rumahnya pun, saya pasti minimal menyapa anjing itu dan terakhir kali bertemu, ia masih lincah bermain dengan anak saya.
bersama mainan favoritnya (source: IG @syluns) |
Anjing tersebut bukan sekadar anjing, melainkan bagian dari anggota keluarganya. Nabe selalu ikut kemanapun teman saya tinggal, ke Jakarta, Malaysia, hingga akhirnya kembali ke Jogja. Ia dan suaminya memperlakukan anjingnya selayaknya anak sendiri.
That's why, teman saya sampai terisak-isak saat bercerita kalau akhirnya ia memutuskan untuk menidurkan anjingnya untuk selama-lamanya (euthanasia) karena sakit yang diderita kesayangannya tersebut sudah tidak mungkin untuk disembuhkan. Ada rasa penyesalan dalam suaranya, namun ia berusaha untuk ikhlas melepas kepergian anjingnya, karena tidak kuat juga melihat penderitaan anjingnya di sisa umurnya.
5 Stages of Grieving
Mendengar cerita teman saya tadi, saya jadi teringat lagi waktu di mana saya juga harus merelakan kepergian orang tercinta, yakni ayah saya.
Sebagai anak pertama dalam keluarga, saat itu saya juga diminta dokter untuk mengambil keputusan melepas alat-alat yang terpasang di badan ayah saya dan tidak melakukan CPR mengingat harapan hidupnya sudah sangat rendah dan dokter pun tidak ingin memperlama penderitaan pasien.
Baca tentang: Dari Bapak, Aku Belajar...
Sedikit banyak saya bisa paham bagaimana perasaan teman saya saat memutuskan euthanasia untuk anjingnya. Sebuah keputusan besar yang akan mengubah keseluruhan hidup untuk selamanya. Setelah ditinggal oleh orang-orang atau hal yang tersayang, pada umumnya seseorang akan melewati 5 stages of grieving (5 tahapan kedukaan).
5 tahapan ini dikemukakan oleh seorang psikiater Swiss-Amerika, Elisabeth Kubler Ross, yang ditulis dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying (1969). Beliau menjelaskan bahwa basic-nya, proses emosional yang dirasakan saat seseorang menghadapi kehilangan, terutama kehilangan yang besar, adalah proses yang alami.
5 tahapan yang akan dilalui orang-orang pada saat mengalami duka yang mendalam adalah sebagai berikut:
1. Penolakan (Denial)
Di tahap awal setelah menghadapi kehilangan, seseorang akan menolak menerima kenyataan atau kebenaran tentang apa yang harus ia hadapi. Ternyata, hal ini merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh yang normal untuk mengurangi rasa sakit yang datang secara tiba-tiba.
Pada tahap denial ini, orang yang kehilangan akan merasa ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Bisa juga seseorang tersebut meyakinkan dirinya bahwa it's not real, atau sebuah kesalahan yang pasti bisa diperbaiki.
2. Kemarahan (Anger)
Setelah mulai bisa menerima kenyataan, seseorang akan masuk ke tahap berikutnya yakni anger atau kemarahan. Rasa marah ini bisa diarahkan seseorang pada dirinya sendiri, orang-orang di sekitarnya, atau bahkan nasib hingga Tuhannya.
Sering kali ya kita mendengar orang-orang yang sedang berduka menyalahkan dirinya sendiri, bertanya-tanya "Mengapa semua terjadi padaku?" atau merasa bahwa yang terjadi pada dirinya tidak adil.
3. Tawar-menawar (Bargaining)
Dalam tahap ini, orang yang berduka akan mencoba membuat kesepakatan, baik dengan diri sendiri, orang lain maupun entitas yang lebih tinggi lagi seperti Tuhan. Tahap ini dilalui seseorang dengan menyusun skenario 'bagaimana jika' untuk mencegah kehilangan yang sudah terjadi.
Misalnya saja, "Jika kemarin aku tidak memutuskan seperti ini, ia pasti masih hidup dan bersamaku," dan lain sebagainya. Tahap ini menunjukkan adanya keinginan kuat dalam diri seseorang untuk mendapatkan kontrol atas situasi yang sudah tidak bisa diubah, dan usahanya untuk "menawar" agar rasa kehilangan bisa dihindari sementara waktu.
4. Depresi (Depression)
Tahapan berikutnya yang mungkin dan sering kali dilalui seseorang dalam fase grieving-nya adalah depresi. Di tahap ini, orang yang berduka akan merasakan kesedihan yang amat dalam, rasa kecewa yang besar hingga ketidakberdayaan. Pada tahap depresi inilah seseorang benar-benar mulai measakan dampak dari kehilangan yang dialaminya.
Penting sekali mendampingi seseorang yang sedang mengalami tahap depresi ini, menjadi teman cerita dan berbagi perasaan. Pasalnya, orang yang sedang melalui depresi mungkin akan kehilangan harapan atau motivasi untuk melanjutkan hidup. Depresi yang berkepanjangan pun tentu tidak sehat dan perlu bantuan tenaga profesional lebih lanjut.
5. Penerimaan (Acceptance)
Setelah melalui tahapan-tahapan berduka di atas, seseorang yang mengalami kehilangan besar dalam hidupnya perlahan akan masuk ke dalam fase penerimaan. Dalam blognya, Mbak Dhenok Hastuti menjelaskan bahwa seseorang akan mengalami kesadaran spiritual pasca melewati sebuah peristiwa besar yang traumatis dalam hidupnya.
Kesadaran ini muncul ketika seseorang sudah mulai menerima kenyataan dan kembali menemukan jalan untuk melanjutkan hidupnya. Ibarat kata sudah nrimo, literally ikhlas dan kembali berserah diri pada Tuhan.
Meski demikian, bukan berarti orang yang mengalami kehilangan tersebut lantas sudah merasa bahagia atau baik-baik saja. Mereka hanya mulai menyadari bahwa hidup harus terus berlanjut meski seseorang tau hal yang sangat berharga sudah pergi dan tak kembali.
Proses berduka ini sangatlah personal dan unik di setiap pribadi manusia. Mungkin tidak semua orang mengalami kelima stages of grieving di atas secara berurutan atau linier, mungkin juga ada yang tidak mengalami semua tahapan tersebut.
The only cure for grief is to grieve. -Earl Grollman
Namun, yang perlu diingat adalah perlunya menemukan kembali alasan untuk tetap bertahan dan melanjutkan kehidupan meski pihak yang ditinggalkan merasa hancur dan tidak berdaya. Upaya-upaya yang bisa dilakukan seperti berdoa dan meditasi, mencari support system yang positif dan mengalihkan pikiran negatif melalui kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
4 Komentar
What a cute dog..pasti sedih banget kalau hewan kesayangan mati, hiks. Memang bener ya sebelum masa penerimaan pasti ada fase yg lain dan manusia memang berhak untuk bersedih, asal tidak berlarut-larut.
BalasHapusBerduka kehilangan, memang tidak bisa dihadapi dengan cara yang sama oleh setiap orang. Ada yang bisa menerima dengan cepat, ada yang harus terpukul lama karena kehilangan.
BalasHapusYaa mbaa, ditinggal seseorang yang disayang, maupun hewan peliharaan, pasti ngga pernah mudah. Dan siapapun akan melewati 5 tahap kedukaan. Setiap prosesnya sangatlah personal dan tentu saja butuh perjuangan untuk melaluinya.
BalasHapusHewan peliharaan itu emang kalo sudah deket sama pemiliknya itu berasa macam keluarga y mbak. Aku merasakan itu sebab hewan peliharaan ortuku lumayan dan ada satu diantaranya deky dganku. Dan penerimaan diri adalah stage akhir orang menerima apa ygterjadi..
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya 😊 yang mau ngobrol-ngobrol terkait artikel di atas, yuk drop komentar positif kalian di kolom komentar.
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya, Frens! 😉
Satu lagi, NO COPAS tanpa izin ya. Mari sama-sama menjaga adab dan saling menghargai 👍