Bulan Januari lalu, aku kembali mengikutkan anakku dalam Program Belajar di Rumah Bersama Bumi Nusantara Montessori. Seperti biasa, diadakan sharing session tentang tumbuh kembang anak bersama Ibu Kepala Sekolah yaitu Bu Pritta Tyas Mangestuti. Semua orang tua yang anaknya ikut dalam program belajar bulan Januari berkumpul via Zoom untuk membahas mengenai "Stimulasi Perkembangan Sosial Anak Selama Belajar di Rumah".
Baca tentang : Belajar di Rumah Bersama Bumi Nusantara Montessori
Topiknya menarik sekali, mengingat selama masa pandemi yang sudah hampir satu tahun menghantui dunia ini, anak-anak tak terkecuali anakku kehilangan banyak waktu untuk mengeksplorasi luar ruangan termasuk di dalamnya bermain dengan anak-anak lingkungan rumah yang seusia dengannya. Sistem pembelajaran pun berubah haluan menjadi pembelajaran jarak jauh dari rumah secara online.
Untuk masalah keluar-keluar rumah, aku memang cukup ketat dengan menahan diri agar tidak bepergian terutama ke tempat-tempat yang berpotensi ramai jika tidak sangat perlu. Ada pun keluar rumah saat harus berbelanja kebutuhan pokok dan jalan-jalan ke tempat wisata alam yang sunyi dan jauh dari peradaban, lol. Itu juga sangat jarang, bahkan bisa dihitung menggunakan jari.
Baca tentang : Kazoku Tei, Japanese Taste di Sukabumi
Aku bahkan jarang sekali keluar rumah hanya untuk berbasa basi dengan ibu-ibu tetangga yang biasa berkumpul di sore hari sembari mengajak anak-anaknya bermain. Sampai ada yang mengatakan pada anakku, "Dek, di lockdown ya?" Haha.
Aku tidak tersinggung dengan perkataannya karena mungkin kami memiliki pemikiran yang berbeda. Aku menganggap wabah Covid-19 ini sesuatu yang serius dan membuatku harus ekstra bekerja keras menjaga kesehatan keluargaku. Sehubungan suamiku sendiri selalu pulang pergi ke kantor, tentu aku tidak ingin menambah resiko dengan sembarangan bepergian keluar rumah. Mau dibilang lebaay? It's okay, aku tetap kekeuh pada prinsipku sendiri. Hehe.
Kembali ke topik utama, memang di satu sisi aku merasa khawatir anakku tidak akan mendapatkan cukup stimulasi sosial dari lingkungannya. Ketika melihat anak-anak tetangga bermain, berlarian, berkumpul dengan teman-temannya, keinginan untuk mengajak anakku bermain bersama mereka itu ada. Faktanya demikian, apalagi saat anakku tampak senang sekali melihat teman-temannya bermain di sekitar rumah kami.
Ada kalanya aku juga ingin ikut berkumpul bersama ibu-ibu tetangga yang senang bercakap-cakap sambil mengajak anak-anak mereka bermain bersama. Keinginan itu semata-mata karena aku tidak ingin anakku kehilangan momen stimulasi sosial tadi. Gimana anakku nanti jika tidak mampu mengembangkan skill sosialisasinya di kemudian hari jika melulu di rumah?
Tapi setelah memikirkan entah dari mana saja tetanggaku beraktivitas, bertemu dengan siapa saja mereka hingga melihat masih banyak yang abai dengan tidak menjaga jarak dan memakai masker, aku mengabaikan kembali keinginanku tadi demi istiqomah menjaga kesehatan keluargaku semaksimal mungkin.
Ternyata, aku tidak sendirian. Saat sharing session berlangsung, banyak orang tua yang memiliki kekhawatiran serupa. Orang tua yang memiliki anak usia dini sepantaran dengan anakku, punya ketakutan jika anak-anak mereka nanti tidak bisa bersosialisasi dengan baik, tidak mudah beradaptasi dengan orang dan lingkungan baru hingga ketakutan anak-anaknya menjadi pribadi yang antisosial.
Bu Pritta tampak memahami hal tersebut, kemudian ia menjelaskan bahwasanya skill sosialisasi tadi bukan hanya sekedar mampu beradaptasi dengan lingkungan dan orang baru, bukan juga hanya mampu membangun relasi dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Kemampuan bersosialisasi ini ternyata memiliki tahapan yang cukup kompleks dan bukan semata-mata terbangun dari seberapa sering anak-anak bermain dengan lingkungan luar saja.
Perkembangan Sosial
Picture by freepik.com |
Mungkin banyak yang berpendapat bahwa yang di maksud dengan perkembangan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, memang benar jawaban tersebut akan tetapi tidak hanya sebatas itu saja lingkup dari perkembangan sosial. Perkembangan sosial juga mencakup kemampuan mengembangkan individualitas atau kepemilikan, memproses tindakan dari orang sekitar, mengembangkan persahabatan dan menangani konflik.
Perkembangan sosial ini sendiri merupakan salah satu aspek penting dalam tumbuh kembang anak hingga saat ia dewasa kelak. Kemampuan seorang anak berinteraksi secara sehat dengan lingkungan sekitarnya dapat mempengaruhi segalanya, mulai dari mempelajari kata-kata baru saat ia masih balita, mampu menahan tekanan dari teman sebayanya saat ia berada di sekolah menengah hingga berhasil melewati tantangan di masa dewasa.
Salah satu aspek yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan sosial anak adalah kemampuan berbahasa. Di mana pada saat anak bersosialisasi, ia mengembangkan kemampuan untuk mengungkapkan ekspresi menggunakan bahasa dan berkembang hingga mencapai kematangan konsep berpikir.
Tahapan Perkembangan Kemampuan Sosial Anak
Abraham Mashlow Theory atau disebut juga dengan Maslow Hierarchy of Needs menjelaskan tahapan perkembangan kemampuan sosial anak menggunakan piramida sebagai berikut :
5 Levels of Maslow's Hierarchy of Needs (Sumber : Instagram @pritta_tyas) |
Dalam piramida di atas, ditunjukkan bahwa pemenuhan basic needs merupakan hal mendasar yang harus didapatkan oleh seorang anak sebelum ia melewati banyak fase selanjutnya hingga terakhir bisa mengaktualisasi dirinya sebagai seorang individu yang utuh. Dapat dikatakan bahwa pada anak usia dini, semua kebutuhan mendasar yang akan mengembangkan kemampuan sosialnya didapatkan dari rumah dan keluarganya.
Di usia dini, anak-anak sangat membutuhkan terpenuhinya basic needs-nya, kemudian perasaan aman, dicintai, penting dan terkoneksi dengan orang-orang terdekatnya. Siapakah orang-orang terdekatnya?Tentu saja orang tua utamanya serta keluarganya yang lain. Jadi, orang tua hendaklah selalu menjaga kesehatan mentalnya agar senantiasa menjadi tempat yang aman untuk anak-anak tumbuh dan berkembang.
Contoh yang diberikan oleh Bu Pritta adalah rasa aman dan dicintai tidak akan didapatkan oleh anak-anak ketika mereka tanpa sengaja berbuat suatu kesalahan dan langsung dimarahi oleh kedua orang tuanya. Jika hal ini berlangsung terus menerus dari tahun ke tahun, bagaimana anak akan tumbuh sebagai pribadi yang mendapatkan rasa aman dari lingkungan terdekatnya?
Fase selanjutnya yang harus dibangun pada anak usia dini adalah rasa memiliki dan dicintai. Apabila kita sebagai orang tua senantiasa melibatkan anak dalam berbagai aktivitas, mempercayakan dirinya untuk membantu kita maka lambat laun dalam diri anak akan timbul rasa dihargai dan dibutuhkan. Ia menangkap sinyal bahwa orang tuanya percaya pada kemampuannya dan ia merasa bahwa dirinya berharga karena orang tuanya kerap dengan senang hati menerima bantuan dari dirinya.
Kemudian fase self-esteem akan diperolehnya ketika kebutuhan cintanya mulai dari dasar tadi sudah terpenuhi. Ia akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri karena merasa bahwa dirinya memang berharga dan dicintai.
Contoh sederhananya adalah saat anak sedang melukis atau membuat suatu gambar dan menunjukkan hasil karyanya dengan antusias pada orang tuanya, lalu kedua orang tuanya tersenyum bahagia melihat gambar dari anak mereka. Secara otomatis, orang tua anak tersebut menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri anak tadi. Sebaliknya, terbayang ya jika anak menunjukkan hasil karyanya dengan wajah sumringah namun disambut dengan komentar bernada negatif? Tentunya perasaan anak akan terluka dan percaya dirinya menurun sebab merasa tidak dihargai.
Jadi, sebelum mengkhawatirkan apa yang akan terjadi dengan kemampuan bersosialisasi anak setelah masa pandemi ini berakhir lebih baik kita para orang tua bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan anak di tahapan-tahapan dasar yang dijelaskan dalam Maslow Hierarchy of Needs di atas.
Lev Vygotsky dalam teori sociocultural menjelaskan sebagai berikut :
Interaksi sosial dalam keluarga dan anggota masyarakat yang berpengetahuan luas adalah sarana utama. Sehingga dapat mendukung perkembangan kognitif dan perilaku anak yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat
Tahapan Perkembangan Bermain
Selanjutnya, yang banyak dikhawatirkan oleh para orang tua dengan anak usia dini di masa pandemi ini adalah bagaimana anak-anak usia dini dapat bersosialisasi dan bermain dengan teman-teman sebayanya sementara mereka menghabiskan waktu hampir setahun di rumah aja? Untuk menjawab rasa khawatir tersebut, Mildred Parten menjelaskan tahapan perkembangan bermain pada anak sebagai berikut :
Sumber : Sharing Session BN Montessori Bulan Januari 2021 |
Ada 6 tahapan perkembangan bermain pada anak, yakni :
Unoccupied Play (0 - 2 tahun)
Pada tahap ini bayi dan anak kecil mengeksplor lingkungan dengan inderanya secara tidak terstruktur. Semakin jauh ia bergerak maka semakin banyak yang akan ia pelajari. Tahapan ini merupakan fondasi untuk membangun 5 tahapan berikutnya. Pada tahap unoccupied play ini anak juga belajar bagaimana dunia di sekelilingnya bekerja.
Solitary Play (2 - 3 tahun)
Di fase ini, orang tua akan menemukan anak bermain sendiri dengan dunianya, tanpa berinteraksi dengan anak lainnya. Tahap ini sebenarnya di mulai dan mulai terlihat sejak bayi dan biasanya semakin jelas saat ia balita. Tahapan ini akan memungkinkan anak untuk mengeksplor secara bebas dan sebenarnya ia sedang mempersiapkan dirinya untuk bermain dengan orang lain.
Onlooker / Spectator Play (2.5 - 3.5 tahun)
Jika anak sedang berada dalam fase onlooker play, maka anak akan lebih senang mengamati anak lain bermain namun masih enggan menjadi bagian dari permainan tersebut. Tahapan ini akan memungkinkan anak untuk memilih kegiatan dan dapat segera pindah ke tingkat lain saat ia merasa mulai nyaman.
Parallel Play (2.5 - 3.5 tahun)
Pada tahapan ini, anak sudah mulai mau bermain berdekatan dengan anak lain namun masih enggan untuk ikut bergabung. Tahap ini adalah tahapan transisi ke arah sosial dan sebaiknya tidak memaksa anak jika ia belum merasa nyaman untuk ikut bergabung dengan yang lainnya dalam bermain karena ia belum menikmati interaksi sosial tersebut.
Associative Play (3 - 4 tahun)
Pada fase ini, anak sudah mulai terlibat dalam permainan yang sama dengan anak lain, misalnya ngobrol atau bermain peran (pretend play). Anak mulai berbagi mainan dan mengobrol namun belum sepenuhnya bisa terorganisir. Pada tahap ini, anak sudah lebih tertarik pada anak lain. Ia mencoba menerapkan apa yang telah ia pelajari, mencoba keterampilan sosialnya dengan anak lain atau orang dewasa di sekitarnya.
Cooperative Play (4 - 6 tahun)
Di tahapan ini, anak sudah terlibat dalam permainan yang memiliki tujuan bersama dan mengatur diri mereka sendiri. Di fase cooperative play ini anak sudah bisa bekerja sama dan memahami aturan main yang berlaku serta mengembangkan kemampuannya bernegosiasi. Tahap ini membutuhkan proses negosiasi antara 2 anak atau lebih. Sebab bekerja sama adalah hal yang sulit untuk anak-anak, maka sering kali timbul konflik di tengah permainan.
Usia yang dijelaskan dalam tahapan perkembangan menurut Mildred Parten di atas tidak saklek dan sangat mungkin berbeda pada setiap anak. Oleh sebabnya, orang tua hendaklah melakukan observasi untuk mengetahui sudah berada di tahapan mana anak-anaknya agar dapat melakukan stimulasi dan mempersiapkan lingkungan dengan tepat dan sesuai dengan perkembangan anak.
Untuk anak-anak yang masih berada di fase unoccupied hingga onlooker play, mungkin orang tua tidak terlalu khawatir karena anak-anak masih senang bermain sendiri. Lalu bagaimana jika anak-anak sudah memasuki fase associative atau bahkan cooperative play?
Di masa pandemi seperti sekarang ini jelas tidak mungkin anak-anak berinteraksi secara intens dengan teman sebayanya, sehingga orang tualah yang harus berperan ekstra untuk menjadi teman bermain bagi anak-anak yang berada dalam fase tersebut.
Cara Menstimulasi Perkembangan Sosial Anak
Ada 6 cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menstimulasi perkembangan sosial anak, yaitu :
Sumber : Sharing Session BN Montessori Bulan Januari 2021 |
Untuk anak usia dini, bermain memiliki peranan penting dalam stimulasi perkembangan sosialnya. Manfaat bermain antara lain adalah mengasah kemampuan memecahkan masalah, membuat anak relaks serta menurunkan stress, dapat menambah rasa percaya diri pada anak dan juga menghadirkan rasa berhasil, yang terakhir tentunya meningkatkan bonding dengan anak-anak.
Saat membersamai anak bermain, orang tua sebaiknya mengikuti keinginan dan pilihan anak mau bermain apa (follow the child) selama itu tidak melanggar ground rules, orang tua juga tidak perlu berpura-pura menjadi seumuran dengan anak-anak. Hal ini disebabkan anak perlu belajar untuk bernegosiasi dan menerima bahwa tidak semua orang akan selalu sependapat dengan apa yang anak utarakan atau inginkan.
Penutup
Seperti itu kira-kira garis besar penjelasan Bu Pritta mengenai stimulasi perkembangan sosial anak usia dini. Sehingga, meskipun saat ini kita sedang berada di tengah pandemi yang tidak memungkinkan anak-anak berinteraksi sosial dengan banyak orang bukan berarti kita sebagai orang tua berpasrah diri dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk tetap menstimulasi perkembangan sosial anak-anak kita.
dr. Jack Shonkoff, M.D, yang merupakan dokter anak dan ahli perkembangan anak usia dini di Harvard's Center on the Developing Child mengatakan bahwa meskipun kondisi ini tidak biasa, kebanyakan anak akan keluar dari masalah ini karena manusia secara biologis mampu beradaptasi. Tidak seperti dinosaurus yang punah karena perubahan zaman, manusia memiliki kemampuan untuk bertahan karena kondisi lingkungan senantiasa berubah.
Semoga informasinya bermanfaat!
Yogyakarta, 2 Februari 2021
34 Komentar
nah betul Bun... membangun rutinitas perlu niat dan usaha yang maksimal agar berhasil ya :D
BalasHapusIya, membangun rutinitas ini yg challenging. Hehe..
HapusMbak mau tanya. Anak saya usia mendekati 2 tahun. Tapi belum bisa ngomong mbak. Hanya kata mama dan isyarat doang.
BalasHapusAda yg bilang itu speak delay. Terus stimulus gimna yang bisa dikasih mbak. Mohon pencerahnnya. Nanti saya balik lagi ke blog ini, nunggu jawabannya.
Halo Pak/Bu, terima kasih sudah berkunjung ke blog ini 😁
HapusSetahu saya kalau usia mendekati 2 tahun harus'y kosakata yg disebutkan sudah lumayan banyak dan mulai bisa merangkai 2 kata misal "ibu makan"; "ayah pulang". Jd kalau saran saya lebih baik dikonsultasikan dulu ke ahlinya (spesialis tumbuh kembang) supaya penanganannya lebih tepat. Terima kasih..
Saya termasuk yang meminimalkan anak-anak keluar rumah di pandemi ini. Cukup saya dan suami saja yang keluar. Kadang-kadang ya kasihan gitu melihat mereka kangen dengan dunia main di lapangan. Tapi kalau diajak piknik tipis-tipis di tempat sepi pada gak mau.
BalasHapusThanks sharingnya mbak.
Sama2 mba semoga bermanfaat..
HapusUntung didukung sarana yang canggih seperti zoom dan sarana lainnya ya, Mbak. Kalau tidak, apa jadinya anak-anak mutar-mutar dan belajar di rumah saja sudah satu tahun. Justru di sini peran orang tua sangat penting dalam membimbing anaknya yang sedang tumbuh.
BalasHapusIya. Kemana mana tetep baliknya yg paling penting peran ortu di rumah
HapusKalau anak 6 tahun punya sifat pemalu (kalau ketemu guru atau org dewasa yg tak dikenal) apakah perkembangan sosial nya terganggu ya?
BalasHapusKalau sama orang yang dekat seperti keluarga dia malah banyak ngomong.
Tp kalau ke orang lain, suka malu2 banget.
Mungkin dy tipe kepribadiannya introvert mba? Kalau pemalu tapi masih mau bersosialisasi kayaknya memang anaknya aja yang butuh adaptasi lebih utk mengenal org tsb.. hehe
HapusAnakku usia usia tahun jadi sudah bisa bermain sendiri saat pandemi begini, meskipun kadang dia juga bermain dengan saudara sepupunya yang tinggal bersebelahan. Tetapi menurutku, anak2 memang tetap butuh teman untuk bermain bersama ya mbak, karena dengan bermain bersama teman sebaya akan memberikan dampak yang positif bagi tumbuh kembangnya. Semoga pandemi segera berakhir, sehingga anak2 dapat bermain kembali bersama teman-teman di luar rumah.
BalasHapusAamiin. Semoga vaksin buat anak juga segera ada. Heu..
HapusMenarik ni, aku sebenarnya pengen eksplor perkembangan sosial anak. Anak pertamaku suka socially awkward, aku pengen ngasih stimulus supaya dia lebih luwes gmana gitu
BalasHapusSemoga nggak kenapa2 ya mba. Mungkin memang belum masanya aja mau bergaul sama byk orang?
HapusPerkembangan sosial anak ini penting banget ya Mbak. Btw, anak saya kebanyakan berdiam di rumah karena selain saya ibu pekerja jadi kalau bermain biasanya sama anak tetangga ya di rumah, tapi jarang banget. Kebetulan anak saya ada 3 jadi mereka main bersama dan di rumah ada kakak dan bibinya (usia anak kuliah) sehingga mereka juga kadang bermain bersama kakak dan Bbinya. Mbak sama dengan saya, saya jarang juga ngobrol lama-lama sama tetangga, hobinya dalam rumah, he..he..
BalasHapusKita hobinya nulis dan ngobrol lewat BW ya mbak. Haha..
HapusKeluarga saya juga termasuk yang membatasi diri kayak Mbak. Keponakan saya sama sekali tidak keluar rumah. Untungnya ada teknologi ponsel. Mereka sosialisasi dengan teman-temannya lewat ponsel itu. Ada WA grup teman sekelas. Kadang mereka juga main game bareng online.
BalasHapusHehe iya lah gpp sekarang mainannya online dulu. Asal diawasi dan nggak yang aneh2.
Hapus"Kebutuhan anak bahwa dirinya berharga"
BalasHapusItu yang aku fokuskan pada anakku selama 5 tahun awal kehidupannya mba. Karena ini pondasi yang penting bangeg untuk kehidupannya kelak. Partner main terbaiknya, ya bapak dan ibunya ini, hihihi
Betul banget nih mba, ini yang masih saya jalankan. Secara anak baru 2 tahun. Haha. Duh, semogi bisa ya menanamkan hal tsb ke anak
HapusTerimakasih banyak kak artikel tentang
BalasHapusstimulasi perkembangan sosial anak usia dini memang perlu banget diketahui ibu-ibu zaman now ya kak
Sama2 mba dian. Semoga bermanfaat
HapusAku bersyukur banget, karena pandemi jatuhnya di tahun 2020.
BalasHapusSeandainya begini dan begitu, pasti kami terpaksa melewati dengan segala keadaan yang serba berubah. Misalnya, kini saat kaka dan adik sudah usia sekolah. Sehingga bersosialisasi bisa sama saudaranya sendiri, belum perlu keluar rumah untuk bersama teman yang lain. Meski geng Ssamundong uda pada manggil-manggil, tapi mereka keukeuh, main di rumah aja, karena kaka paling gak betah pake masker yang baik dan benar.
Ih pinter2 ya mba lenchin anak2'y. Anak aku d panggil dikit lgsg pen kabur aja tuh
HapusWah.. tercerahkan. Saya juga mempunyai masalah yang sama dengan ai bungsu
BalasHapusSemoga segera terselesaikan masalahnha ya..
Hapuswah oas banget mampir sini
BalasHapusjadi diingatkan untuk tetap semangat membangun kebiasaan belajar dan bermain bersama anak anak
apalagi saat pandemi gini
emang paling pas klo anak anak bermain di rumah sesuai tahapan stimulasinya
Iya betul mbak dk, dan tiap anak pun nggak bisa disamakan ya perkembangannya. Unik dgn caranya masing2..
Hapustempo hari aku jg ikut sebuah sharing session ada mbak najeela shihab sama dona agnesia, singkatnya menstimulasi sosial anak usia dini juga bisa menggunakan videocall loh. karena berbeda sama kita yg berasa vcall tuh beda sama ketemu fisik, anak2 akan merasa bertemu beneran.
BalasHapusbismillah ya mbak ima semoga kita bs menstimulasi anak kita dengan baik.
Aamiin. Semangat teruuss..
HapusHmm, putra bungsu saya sedang di masa Associative Play ya Mbak Ima kl menurut Mildred Partren... suka pretend play juga saya diminta jadi helikopter dan dia jadi mobil patroli polisi, kl main saya diminta bantuin dia mengejar penjahat, hihi...
BalasHapusLucu yaa mba miaaa. Yaampun menanti anakku kayak gitu juga nih..
HapusPerkembangan sosial anak2 memang penting sekali untuk distimulasi. Bahkan di saat pandemi seperti sekarang ini ya. Kita bisa membuat alternatif kegiatan untuk menstimulasi perkembangan sosial mereka.
BalasHapusIya mbak rindang tapi memang harus dilihat usia dan kebutuhan dy bersosialisasinya juga. Hehe..
HapusTerima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya 😊 yang mau ngobrol-ngobrol terkait artikel di atas, yuk drop komentar positif kalian di kolom komentar.
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya, Frens! 😉
Satu lagi, NO COPAS tanpa izin ya. Mari sama-sama menjaga adab dan saling menghargai 👍