Baru beberapa bulan Indonesia dilanda wabah Covid-19 yang membuat pergerakan tidak lagi senyaman dulu rasanya sudah seperti setengah abad! Haha. Berbulan-bulan berdiam diri di rumah, hanya keluar rumah saat benar-benar ada keperluan membuat otakku gerah butuh refreshing.
Saat ini mungkin sudah banyak yang menyepelekan virus Corona. Terlihat dari banyaknya warga Indonesia yang pepergian tanpa menghiraukan social distancing, sudah tidak mengutamakan cuci tangan dan hand sanitizer lagi serta tidak memedulikan anjuran pemakaian masker. Ya nggak semua seperti itu, cuma sudah banyak yang seperti itu.
Aku sendiri termasuk yang masih was-was bepergian ke tempat-tempat yang berpotensi ada kerumunan. Melihat Super Indo penuh dan ngantri saja rasanya ingin segera melarikan diri dari sana. Sampai saat ini, aku masih belum berani pergi ke mall, rumah makan dan tempat wisata yang mungkin ramai saat aku dan keluarga datang kesana.
Sedari kecil, aku dan keluargaku senang bepergian. Ayahku lah pelopor yang rajin mengajak kami sekeluarga jalan-jalan dalam rangka plesiran dan liburan. Berbagai tempat wisata telah kami datangi. Sumatera, Jawa, Bali, Lombok bahkan Sulawesi sudah pernah kami sambangi. Kebiasaan travelling yang sejak kecil dilakukan ini membuatku menjadi seorang petualang meski tanpa orang tuaku.
Baca tentang : Alabio, Kampung Nenek Moyang di Hulu Sungai Utara
Waktu kuliah, aku memiliki sahabat yang juga hobi main dan jalan-jalan. Meski tidak pergi ke tempat-tempat yang terlalu jauh dari kota Yogyakarta, aku cukup menikmati saat-saat bepergian bersama teman-temanku. Baik teman kampus, teman kos maupun teman satu organisasi. Travelling seakan memberikan angin segar dan membuang pikiran penat akan padatnya jadwal kuliah dan praktikum.
Lain cerita dengan saat aku sudah memiliki penghasilan sendiri, sewaktu bekerja dulu aku bahkan sengaja menabung untuk travelling. Dalam satu tahun, aku bisa pergi ke beberapa kota baik dalam maupun luar pulau bahkan luar negeri dengan uang hasil tabunganku. Hehe. Bokek sih abis jalan-jalan, tapi tidak pernah ada rasa penyesalan saat menghabiskan uang untuk travelling. Pengalamannya itu loh, tidak akan tergantikan dan terulang kembali!
Saat merasa jenuh dengan semua pekerjaan yanh seakan tidak ada habisnya, ada audit yang mendadak dangdut dan tiada hari tanpa melihat matahari terbit sampai terbenam, travelling seolah menjadi pelepas lelah yang nikmatnya tiada duanya.
Dibandingkan pergi mendaki gunung aku lebih suka plesiran ke daerah pantai. Nggak tipe naik-naik ke puncak gunung dan keluar masuk hutan, aku lebih senang menikmati suara deburan ombak dan asyiknya leyeh-leyeh di hamparan pasir pinggir pantai.
Setelah menikah apalagi sesudah memiliki anak, frekuensi travelling yang tadinya bisa setahun 2 sampai 3 kali menurun drastis menjadi hanya 1 atau 2 kali dalam setahun. Itupun curi-curi waktu seperti saat menghadiri pernikahan sahabatku di Martapura, Sumatera Selatan dan Bali.
Sesudah punya anak, waktuku bukan untuk aku sendiri. Aku menghabiskan waktu untuk suami dan anakku. Aku juga harus menyesuaikan dengan waktu yang mereka miliki, tidak bisa asal capcus seperti dulu lagi.
Ketika merencanakan bepergian, aku harus mempertimbangakan waktu luang suamiku. Apakah ia harus memakai tabungan cutinya atau pergi saat tanggal merah dan long weekend.
Selain itu, faktor kesehatan keluargaku juga tak kalah penting. Jadi atau tidaknya kami pergi dilihat dari kondisi aku dan suami terutama anak yang harus fit. Bawa toddler travelling saja sudah repot, apalagi ditambah jika ia sedang sakit.
Bagiku, travelling itu seperti memerdekakan diri. Merdeka dari segala tugas dan kewajiban, baik dulu di kampus, kantor ataupun saat ini di rumah. Travelling berarti memerdekakan otak dan pikiran dari rasa jenuh akan rutinitas sehari-hari. Travelling membuatku bebas menghirup udara segar di alam terbuka yang menyenangkan.
Menulis tulisan ini sambil membayangkan birunya laut dan putihnya pasir pantai saja sudah membuat aku merasa merdeka dari suntuknya berbulan-bulan berdiam di rumah, berharap jauh-jauh dari ancaman virus yang belum ada vaksinnya.
Teringat tahun 2015 silam, ketika aku menghabiskan hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia di pulau Bira, kepulauan Seribu, Jakarta. Hari itu aku bersama teman-teman satu kantor yang doyan travelling melakukan hoping island di sekitar pulau Harapan.
Berfoto-foto, bermain pasir dan air laut, menikmati jajanan sederhana di tepi pantai serta bersenda gurau dengan teman satu perjuangan sebagai buruh pabrik benar-benar membuatku merasa merdeka dibandingkan hari-hari lain yang dihabiskan di kantor bersama mereka.
Tidak ada pembahasan tentang pekerjaan, tagih-menagih pekerjaan, semua yang berkaitan dengan tumpukan kertas di atas meja kerja serasa ikut terhempas bersama ombak di laut. Kelaut aje deh! Hehe.
Di tahun 2020 ini, aku berharap untuk bisa kembali travelling dan memerdekakan diri dari rasa takut dan khawatir akan Covid-19 yang membuat aku dan keluargaku terpaksa mendekam di rumah. Berharap semoga situasi segera aman dan kondusif sehingga bisa bepergian dengan perasaan bahagia seperti saat travelling sebelum-sebelumnya.
Sukabumi, 8 Agustus 2020
0 Komentar
Terima kasih sudah berkunjung dan membaca tulisan saya 😊 yang mau ngobrol-ngobrol terkait artikel di atas, yuk drop komentar positif kalian di kolom komentar.
Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya, Frens! 😉
Satu lagi, NO COPAS tanpa izin ya. Mari sama-sama menjaga adab dan saling menghargai 👍